Sementara itu, Ketua Studi Pancasila Universitas Parayangan (Unpar), Andreas Doweng Bolo menjelaskan sejarah lahirnya Unpar.
“Unpar memilih tanggal 17 Januari sebagai hari lahir karena dari awal sudah mendukung semangat kebangsaan dan NKRI,” tutur Andreas.
UNPAR, lanjut dia, mulai bisa menerbitkan ijazah secara otonom sejak tahun 1961 yang langsung diresmikan oleh Presiden Soekarno.
Menurut dia, toleransi sebetulnya masih banyak ditemukan di masyarakat akar rumput. Hal ini berdasarkan pengalaman kunjungannya bersama mahasiswa ke daerah-daerah.
Pendidikan bukan hanya persoalan menalar saja karena manusia harus bertahan hidup, manusia mengontrol nafsu, dan mengejawantahkan budaya.
“Persoalan radikalisme dan merawat kebangsaan adalah tanggungjawab kita bersama sebagai seluruh bangsa dengan penguatan civil society,” terangnya.
Perwakilan adat budaya Sunda, Hari Mulya Subagja melihat masyarakat mudah terperdaya oleh propaganda elit politik yang seolah-olah pemilik negara saja. Kemudian terjadi pengkhianatan budaya, ajaran, amanat dan para leluhur bangsa juga pendiri bangsa.
Sehingga, Hari berpendapat harus ada evaluasi persoalan budaya-budaya dan sosial yang berkaitan dengan situasi dan kondisi radikalisme.
“Kita harus berbicara sebagai satu bangsa bukan membawa identitas keagamaan, politik, dan lain-lain. Indonesia kehilangan perasaan dan senasib sebagai satu bangsa,” ujarnya.
Persoalan bangsa ini, menurutnya, juga berkaitan dengan identitas kebangsaan dan budaya yang mulai luntur.
Perwakilan PGWI Jabar, Pdt. Paulus menilai persoalan radikalisme ini tidak sederhana karena sehari-hari menyaksikan seolah baik-baik saja tetapi sebetulnya seperti api dalam sekam.
“Orang yang tampak santun dan agamis ternyata adalah pelaku kekerasan, korupsi, dan kejahatan lainnya, seperti ada terpecahnya kepribadian bangsa,” ucapnya.
Selain itu, kata dia, kurang tegas dan berfungsinya...





