CAHAYA SIANG.ID, MINSEL – Indonesia kaya akan keragaman budaya yang unik. Salah satunya tradisi pernikahan yang ada di Desa Keroit Kecamatan Motoling Barat, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulut.
Hal ini seperti yang disaksikan Media Cahaya.id dalam pesta nikah antara Marchel Supit S.Pd dan Frili Piri S.Pd. M.Pd Sabtu, (29/04/2023) di Desa Keroit.
Para undangan yang terbagi dalam dua kategori benar-benar dapat merasakan pelayanan keluarga yang punya hajatan. Pasalnya, para warga asli desa yang memenuhi undangan membawa alat makan sendiri dan duduk berjejer memghadap meja panjang. Pada saat jamuan makan dimulai, warga asli desa yang terundang diberi sajian hangat berupa nasi sayur dan ikan untuk dimakan. Keluarga yang diundang sekaligus juga diberi “saput” kantong plastik yang berisi sayur pangi(daun khas yang diiris halus) dan lutu(sejenis daun pakis) dan dua macam ikan serta kue yang dibungkus dalam kemasan sendiri untuk dibawa pulang ke rumah. Bila dikalkulasi dan dirupiahkan, ‘Saput’ ini bernilai Rp. 150 ribu. Nilai ‘Saput’ tersebut bisa saja bervariasi antara 50 ribu sampai 200 ribu sesuai kemampuan ekonomi keluarga yang menggelar pesta.
Sedangkan para tamu undangan dari luar desa mengambil makan di meja yang sudah disediakan, warga Sulut biasa menyebutnya Catering.
Setelah ditelusuri, hal ini memang telah menjadi tradisi turun temurun di desa tersebut bila menggelar hajatan nikah atau acara pesta lainnya.
Menurut Hukum Tua Desa Keroit, Donny Bella, tradisi pemberian ‘Saput’ pada pesta di desanya sudah berlangsung cukup lama sejak desa ini didirikan pada tahun 1926 hasil memisahkan diri dari Desa Raanan Baru.
“Ini telah menjadi kearifan lokal yang dipelihara sejak dulu karena pembagian ‘Saput’ bagi warga Desa Keroit mengandung arti berbagi kebahagiaan, sukacita dan berkat Tuhan. Dan hal itu dilakukan dalam momentum hari bahagia dari keluarga yang buat pesta,” tutur Hukum Tua Bella.
Ditambahkan Ketua DPP(Dewan Pastoral Paroki) Gereja Katolik Hati Kudus Keroit, Gabriel Manorek.
Untuk para pekerja yang mempersiapkan pesta mulai dari mendirikan bangsal, mengatur meja dan kursi, panggung dan yang masak menyiapkan makanan dilakukan secara gotong royong oleh warga tetangga bersama keluarga tanpa dibayar.
“Mereka dikoordiner oleh seorang ‘Kepala Pesta’ semacam E.O. yang trampil menyelenggarakan pesta. Gotong royong ini tetap dipertahankan, karena budaya mapalus tetap kental dalam kehidupan bermasyarakat di desa kami,” tukas Manorek.
Hadir dan turut menyaksikan, tradisi pesta unik tersebut, Camat Motoling Barat Tino Rumengan S.IK, dan Kapolsek Motoling Iptu Hence Talumepa. (Rubby)
