JAKARTA (CAHAYASIANG.ID) – Dengan bentangan gugusan pulau-pulau yang indah mempesona, Sulawesi Tenggara memiliki keberagaman wisata alam, bahari, budaya, hingga kuliner yang menggoda.
Ramah tamah warga lokal pun membuat wisatawan nyaman dan merasa di kampung halaman sendiri, begitu pula ketika unsur adat istiadat tradisional yang masih autentik diperkenalkan di Desa Liya Togo ketika rombongan MURI berkunjung ke desa wisata ini.
Kedatangan Direktur MURI Aylawati Sarwono dan rombongan disambut dengan sajian minuman dingin asem segar khas Desa Liya dan tarian tradisional yang dibawakan oleh anak-anak diiringi musik gending dan gong dan dimainkan oleh para pemusik sepuh.
“Kostum dan riasan kepala sangat khas, tidak ditemukan di daerah lain, saya sangat kuatir punah apabila tidak ada perhatian serius untuk melestarikan dan mengembangkannya,” ujar Aylawati Sarwono, Sabtu (4/6).
Rombongan dari MURI Jakarta pun sangat kagum dengan tarian yang tenang ketika dibawakan kaum perempuannya, sementara kaum lelakinya sangat enerjik.
Tarian yang disajikan memang banyak mengolah gerakan menapak dan memutar sehingga menarik hati rombongan MURI yang semuanya juga penari untuk larut dalam gerakan tarian Lariangi khas Liya Togo.
Lariangi adalah seni pertunjukan yang berasal dari Kaledupa Kepulauan Wakatobi, Sulawesi Tenggara. Seni pertunjukan ini berupa tarian tradisional. Tarian ini telah ditetapkan menjadi Warisan Budaya Nasional pada tahun 2013.
Berdasarkan etimologi, lariangi terdiri atas dua suku kata, yakni lari dan angi. Lari berarti menghias atau mengukir, sedangkan angi berarti orang-orang yang berhias. Sebagai perwujudan dari lari atau menghias adalah pakaian para penari yang terdiri atas kain, manik-manik, hiasan sanggul, logam berukir untuk gelang, kalung, dan hiasan sarung. Masing-masing perwujudan lari memiliki simbol-simbol.
Simbol-simbol itu, antara lain, pada bagian kepala disebut Panto dan Pintoru melambangkan derajat bangsawan. Hepupu atau konde melambangkan Kerajaan Buton. Bunga konde melambangkan Pagar Beton Keraton, dan toboy atas bawah kamba melambangkan prajurit-prajurit penjaga pasar benteng keraton.
Selain itu, ada juga yang namanya Hebindu atau sangi-sangi yang melambangkan Fatimah (anak Nabi Muhammad SAW), kalung melambangkan matahari dan bulan, naga melambangkan penjaga benteng keraton, sekori dan gelang bersusun melambangkan derajat bangsawan, kombo tipis melambangkan gadis atau wanita yang sudah menikah, pelapis kombo berwarna jingga melambangkan sore hari, punto atau wuray nibelo dasar hitam melambangkan malam hari, dan manik-manik putih melambangkan cahaya alam.
Lariangi merupakan tradisi lisan yang sudah ada sejak abad ke-14 ketika Raja Wakaaka dinobatkan sebagai raja pertama di Kaledupa. Sumber lisan lainnya menyatakan bahwa tarian tradisional ini diperkirakan ada sejak tahun 1634 atau abad ke-17, yakni pada masa Kesultanan Buton.
Pada zaman dahulu, tari Lariangi dimainkan di istana raja. Tarian ini memiliki fungsi sebagai media penyebaran informasi kepada masyarakat. Para penari menyampaikan informasi sekaligus bermaksud untuk memberikan nasihat ataupun sebagai media hiburan dengan gerakan tari dan lagu.
Lariangi diwariskan turun-temurun hingga kini. Gerakan menari diajarkan secara lisan dari generasi ke generasi, termasuk lagunya. Tarian ini diyakini bisa menjadi warisan dunia tak benda, mengingat banyaknya simbol-simbol bermakna di setiap detail riasan dan pakaian, juga pesan-pesan kebaikan yang terkandung dalam syair-syairnya.*