Setelah Indonesia merdeka, upaya membangun secara mandiri sebuah negara baru, para pendiri bangsa mewarisi berbagai masalah yang diciptakan oleh kolonialisme yang bercokol lebih dari 3 abad. Ini berarti bukan hanya mewarisi sistem ekonomi maupun politik warisan penjajah, tapi juga watak dari penjajahan tersebut.

Upaya menganti sistem penjajahan dengan sistem yang baru mungkin sangat jelas didalam UUD 1945, tapi tidak dalam prakteknya mengingat warisan kolonial diatas tadi dan situasi gejolak geopolitik akhir perang dunia kedua.
Pergolakan daerah, perselisihan politik antar partai dan kelompok-kelompok pejuang yang bermunculan pada awal kemerdekaan membuktikan betapa rumitnya persoalan warisan kolonial dan kekuatan kaum feodal yang selama masa penjajahan mendapatkan remah-remah keistimewaan dari penjajahan Belanda, baik secara politik maupun ekonomi.
Program nasionalisasi perusahaan Belanda setelah pengakuan Belanda atas kemerdekaan Indonesia di seluruh wilayah jajahannya dari Sabang sampai Merauke pada tahun 1949, mengharuskan kaum feodal tunduk terhadap republik dan kehilangan hak istimewanya yang selama ini menjadi sumber kekayaan dan mempertahankan status sosial.
Sayangnya, Nasionalisasi tersebut tidak mengembalikan tanah-tanah yang dirampas pada masa kolonial. Nasionalisasi menjadi sarana faksi-faksi politik, kelompok-kelompok militer yang merasa paling berjasa selama perang kemerdekaan untuk membiayai kepentingan mereka masing-masing.
Upaya paling maju pada masa itu ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Undang-Undang Pembaharuan Agraria Nomor 5 tahun 1960 yang memberikan kepastian bagi rakyat pedesaan khususnya kaum tani terhadap akses kepemilikan lahan, bahkan lahan bekas perkebunan Belanda.
Ironisnya, setelah UU PA No.5 Tahun 1960 di keluarkan, kondisi politik Indonesia memasuki gejolak yang berujung penggulingan kekuasaan Soekarno pada tahun 1965-1966. Penggulingan Soekarno ini menghentikan keseluruhan distribusi tanah di pedesaan kepada kaum tani, dan di era Soeharto tanah perkebunan bekas Belanda justru menjadi sasaran kepentingan investasi asing yang bekerja dengan kelompok kroni dan keluarganya yang menyokong kekuasaan Orde Baru. (*RS)
(Bersambung)