CAHAYASIANG.ID, MANADO – Burung Manguni dikatakan telah menjadi bagian dari sejarah kehidupan masyarakat Minahasa. Bahkan, burung yang disebut Celepuk Sulawesi (Sulawesi Scops Owl) atau bernama latin Otus Manadensis ini, menjadi logo dari sejumlah Kabupaten dan Kota di provinsi Sulawesi Utara.
Dalam salah satu jurnal yang termuat di garuda.kemdikbud.go.id, disebutkan jika burung Manguni dipercaya sebagai burung suci yang berasal dari Minahasa. Identitas burung oleh Tou (orang) Minahasa dikenal dengan sebutan burung ot atau burung totosik.
Disebutkan, burung ini bagi Tou Minahasa memiliki simbol sakral. Sikap masyarakat mendeskripsikan burung Manguni dalam teologi kontekstual, terdapat dalam simbol Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Tou Minahasa meyakini burung Manguni sebagai perantara antara manusia dan Tuhan Allah Yang Maha Besar (Opo Empung Wailan Wangko) dan menjadi pembawa kabar.
Penelitian ini dipengaruhi oleh adat dan budaya Tou Minahasa yang berfungsi mengenali kepercayaan nenek moyang (leluhur) yang mengandung nilai-nilai luhur. Penelitian artikel ini menggunakan metode kualitatif melalui observasi, wawancara mendalam dan studi pustaka. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa burung Manguni baik secara fisik maupun budaya Minahasa mengandung nilai sakral dan menjadi identitas Tou Minahasa.
Dilansir dari situs Mongabay.co.id, peneliti Pusat Riset Arkeologi Lingkungan BRIN, Hari Suroto mengatakan, dalam budaya Minahasa, motif burung Manguni dapat dijumpai pada penutup waruga. Waruga merupakan peninggalan megalitik berupa kubur batu leluhur orang Minahasa zaman dulu.
Makam kuno ini tersebar di beberapa daerah di Minahasa seperti Sawangan dan Lotta Pineleng. Namun, tidak semua leluhur masyarakat Minahasa dikuburkan dalam waruga. Hanya tokoh-tokoh berpengaruh dan dinilai memiliki posisi penting yang dimakamkan dengan cara seperti itu.

Pada setiap badan dan tutup waruga yang menjulang ke atas, terdapat lukisan-lukisan manusia, hewan dan tanaman. Motif lukisan tak sama di setiap waruga, sebagai penanda tingkatan para leluhur. Termasuk, burung manguni yang diukirkan pada waruga, khusus untuk menguburkan pemimpin adat.
Dijelaskan Hari, tradisi leluhur masyarakat Minahasa mengenal setiap tindakan harus melalui restu dari kekuatan di luar mereka, yang sering didahului oleh gejala alam. Sebut saja, gempa bumi atau gunung meletus, juga tingkah laku binatang semacam kucing dan ular.
Namun, khusus untuk Burung Manguni, oleh para tonaas atau pemimpin adat dianggap sebagai pembawa berita terpercaya dari langit atau dunia atas; dunia para leluhur yang dipimpin oleh para dewa atau Opo Empung (Tuhan).
“Bagi leluhur Minahasa, manguni dianggap bukan sekadar burung hantu, tetapi mendapat tempat khusus di hati mereka yang membantu kehidupan sehari-hari, serta sebagai pemberi isyarat atau kabar baik kepada manusia melalui kehadirannya atau memalui suara. Bahkan, dianggap sebagai perantara manusia dengan dengan leluhur atau para dewa,” ujar Hari.
Celepuk Sulawesi Berwajah Bulat
Burung manguni adalah sejenis burung hantu dari famili Strigidae (berwajah bulat). Cirinya adalah berwarna kecokelatan dengan mata kuning dan rumbai telinga berbulu. Bentuk kepala persegi saat rumbai tidak ditegakkan. Tubuh seluruhnya cokelat dengan pola gelap dan pucat yang tersebar luas.
Biasanya, burung ini menghuni tajuk bawah dan tepi hutan dari dataran rendah hingga pegunungan bawah. Persebarannya terbatas di Sulawesi dan beberapa pulau satelit. Burung terlihat di Cagar Alam Tangkoko [Bitung], Taman Nasional Bogani Nani Wartabone [Gorontalo dan Bolaang Mongondow], serta Taman Nasional Lore Lindu [Sulawesi Tengah].
Sebuah penelitian berjudul “Distribusi dan Populasi Burung Manguni (Otus Manadensis) di Gunung Kosibak, Taman Nasional Bogani Nani Wartabone” yang ditulis Fransisca Solang, J.S. Tasirin, dan Wawan Nurmawan, menjelaskan “kesakralan” burung ini karena memiliki nilai budaya kuat di antara suku-suku asli di Sulawesi Utara. Keberadaannya menjadi pertanda alam dan ikut memengaruhi kehidupan sosial masyarakat.

Namun sayang, burung Manguni memiliki keterancaman dan sudah jarang ditemukan, seiring perubahan tutupan hutan menjadi lahan pertanian dan permukiman.
Perlu diketahui, Burung Manguni bersama “saudaranya” Celepuk Siau (Otus siaoensis), adalah salah satu dari 16 spesies burung hantu yang dilindungi di Indonesia seperti yang tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 92 Tahun 2018.
Penelitian lain berjudul “Religiusitas dan Dimensi Ekologis di Balik Mitos Burung Manguni Pada Masyarakat Minahasa” yang ditulis Mayke Rinny Liando mengatakan, selain memiliki aspek religius, ternyata pengetahuan masyarakat mengenai burung manguni mempunyai dimensi ekologis.
“Menumbuhkan kesadaran orang Minahasa untuk melestarikan habitat burung manguni guna meningkatkan populasinya yang semakin berkurang,” jelas riset tersebut. (ak)





