Oleh: Frans Eka Dharma Kurniawan (Ances), Wakil Ketua I Partai Buruh Exco Provinsi Sulawesi Utara, Aktivis 98, Ketua PRD Sulawesi Utara 2005-2015, KOMRAD dan KAM Sulawesi Utara 1998, Kordinator Kolektif KPBI Sulawesi Utara
CAHAYASIANG.ID, Opini – Sangat sedikit keriuhan Pilpres di media massa besar berkaitan dengan fakta masalah ekonomi yang terjadi. Semua menteri sibuk memberikan data dan menunjukan pekerjaannya sebatas membuktikan “populisme” sebagai pribadi. Bisa dikatakan, menjelang pemilu, kebijakan pemerintah jadi ajang menunjukan gerakan “populisme” ditingkat kementerian sampai ke dinas-dinas Provinsi maupun kabupaten/kota.

Populisme ini justru jadi kejadian yang menarik sekaligus diwaspadai. Saya yakin data yang ada di media saat ini juga ada ditangan pemerintah. Tapi, membaca sebuah data akan tergantung persepsi sang pemegang data dan motivasinya. Jika misalnya, seperti yang ditunjukan data bahwa tingkat konsumsi menurun padahal konsumsi menyumbang 53% PDB (Produk Domestik Bruto), persepsi politisi yang berada di pemerintah adalah dengan memberikan bantuan tunai seperti BLT. Memang betul, bantuan BLT akan membantu catatan peningkatan statistik tingkat konsumsi di kwartal berikutnya, dan tanpa bantuan BLT, statistik akan mencatat kelesuan konsumsi lagi.
Pendekatan populis seperti itu tentu hanya menjawab persoalan jangka pendek, tidak akan menyentuh persoalan mendasar, bahwa konsumsi akan berkaitan erat dengan pendapatan perkapita dan tingkat produktivitas baik sektor barang maupun jasa.
Populisme lah yang kemudian menutup upaya rasional terhadap penyelesaian masalah. Pemerintah justru bertindak menekan pendapatan perkapita dengan menurunkan upah riil lewat kebijakan dengan mengeluarkan UU Omnibuslaw Cipta Kerja. Pemerintah juga terus berupaya mencabut subsidi pendidikan dan kesehatan yang sekarang berdampak pada turunnya tingkat konsumsi sektor kesehatan dan pendidikan, yang artinya bukan rakyat sudah tidak sakit lagi, tapi akses terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan semakin tidak bisa dijangkau oleh masyarakat!
Menurutnya upah riil inilah yang kemudian menjadi penyebab “lesu”-nya perekonomian. Penurunan upah riil ini disebabkan kebijakan pemerintah yang sangat berpihak kepada kepentingan keuntungan investor. Keberpihakan itu nyata-nyata diwujudkan dalam UU Omnibuslaw Cipta Kerja. Ini jelas praktek kebijakan negara yang menimbulkan jurang ketimpangan ekonomi. Alih-alih tranformasi ekonomi kearah industri teknologi tingkat tinggi, justru negara kita terjebak dalam pusaran kepentingan negara-negara lain yang lebih dulu industrinya disokong oleh teknologi moderen.
Negara-negara ekonomi besar yang bersandar pada teknologi maju saat ini terlibat “perang dagang” terbuka. Sedangkan kita, negara yang baru akan masuk dalam permainan global industri teknologi tingkat tinggi membutuhkan sarana dan prasarana penunjang kebutuhan transfer teknologi maupun market beserta rantai industri dari negara-negara yang lebih maju tersebut.
Walaupun dalam hayalan para ekonom investasi teknologi akan memberikan peluang ekonomi lebih baik dimasa depan, alih-alih hayalan tersebut bisa buyar akibat terhambat oleh situasi politik global, Perang dagang di permukaan, dan perang nyata Hegemoni barat terhadap pesaing-pesaing barunya yang mulai memainkan posisi politiknya akibat dari kemakmuran ekonomi negaranya yang membuat mereka bisa duduk satu meja dengan kekuatan yang sama. Dan itu ditunjukan oleh China, Rusia dan India yang kemudian mendirikan BRICS yang secara terang-terangan melawan hegemoni Barat di segala sektor.
Situasi ini akan membuat posisi kebijakan luar negeri kita tidak bisa sepenuhnya berada dalam dua blok sekaligus. Langkah apapun yang diambil akan berkonsekuensi terhadap kepentingan strategis jalur distribusi ekonomi Indonesia. Hal inilah yang seharusnya terlihat dalam program politik Partai maupun calon presiden yang akan datang.
Saat ini semua dalam posisi ambigu. Kepentingan kebijakan rantai distribusi ini akan jadi ajang keras kepentingan para pebisnis kelas kakap yang sangat terkait dengan kepentingan bisnis global. Sementara, geopolitik antara kepentingan hegemoni Barat menindas saingan barunya menuntut dukungan yang luas dari negara-negara lain, atau sekutu-sekutu regional seperti Indonesia yang loyal terhadap barat dalam perang dingin di tahun 1960-an pasca digulingkannya Presiden Soekarno oleh Jenderal Soeharto.
Kembali ke catatan ekonomi CNBC Indonesia hari ini, bahwa kita sedang dalam kebingungan dalam menentukan bagaimana menjawab perkembangan saat ini baik kedalam maupun keluar. Tidak sedikit wacana pembangunan model China menjadi hayalan yang bisa dilaksanakan oleh pemerintah. Dan model meniru-niru atau ikut trend sah-sah saja, asal jangan cuma jadi followers kalo kata generasi sekarang, seperti gaya Soeharto yang ingin seperti kebarat-baratan dalam ekonomi tapi mempraktekan otoritarian militer dan memanipulasi demokrasi. Uniknya, kalau ingin mencontoh kemajuan China, mereka tidak mengenal demokrasi liberal (pemilu multpartai) mereka hanya berdemokrasi dalam 1 tubuh Partai Komunis Tiongkok) dan dalam keputusan negara dikenal dengan Konsultasi lewat lembaga-lembaga negara yang melibatkan perwakilan-perwakilan Partai di daerah, kelompok-kelompok etnis minoritas yang dipilih komunitas lokalnya, perwakilan organisasi profesional termasuk asosiasi pengusaha.
Indonesia sendiri sebenarnya mengenal demokrasi Pancasila. Yang saat ini diterjemahkan dalam praktek Pemilu liberal (multipartai) dalam membentuk sistem pemerintahan setiap 5 Tahan sekali semenjak Reformasi bergulir dengan ditandai mundurnya Jenderal Soeharto. Disatu sisi, Pancasila dalam sila ke 4 berbunyi, “Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Dalam catatan sejarah, perwujudan dari sila ke 4 tersebut bisa saja melalui pemilu, dan pemilu pertama dilaksanakan setelah 10 tahun Indonesia merdeka tahun 1955. Hasil pemilu ini di brengus lewat dektrit presiden 5 Juli 1959. Dari hasil pemilu tersebut sebetulnya melahirkan UUDS 1950, yang dianggap terlalu liberal dan menyebabkan kegaduhan politik saat itu ditengah dimulainya perang dingin antara blok Barat melawan blok Uni Soviet. Setelah dektrit presiden, Soekarno dituduh rekan-rekan baratnya “condong ke kiri” atau lebih berpihak pada blok Uni Soviet.
Saat ini secara geopolitik internasional terjadi polarisasi antara...