CAHAYASIANG.ID, SULUT – Akademisi Tata Kepemiluan Ferry Daud Liando menanggapi rilis survei SMRC mengenai “Potensi Politik Uang di Pemilu 2024” yang disiarkan, Kamis (21/12/2023).
Dimana data SMRC menunjukan potret Toleransi terhadap Politik Uang, sebagai berikut; Bisa diterima sebagai hal yang wajar 44%, Tidak bisa diterima, tidak wajar 56%.
Pelopor studi Magister Pemilu ini mengatakan, Tindakan jual beli suara pada pemilu 2024 kemungkinan besar masih akan sulit dicegah.
Menurut pengajar jebolan GMKI tersebut,
Penyebabnya adalah tidak direvisinya UU 2 Tahun 2008 tentang Parpol dan UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Dua UU ini menjadi pemicu utama terjadinya jual beli suara. Kedua UU itu, tidak mengatur secara ketat apa kewajiban parpol dalam mengikuti proses pemilu serta tidak mengatur kewajiban parpol dalam mengawal calon-calon yang berkontestasi serta sanksi-sanksi jika kewajiban itu tidak dipenuhi,” kata Ferry Liando.
Ia juga menambahkan, Tidak ada norma yang mengatur kewajiban parpol untuk proses kaderisasi anggota untuk kurun waktu tertentu, sebelum diseleksi menjadi bakal calon.
Sambungnya, Dia menekankan, Jika proses kaderisasi tidak diwajibkan maka wajar jika banyak caleg bermasalah dari aspek kepemimpinan, kapasitas dan etika. Masih banyak parpol yang tidak melakukan proses kaderisasi serta banyak yang menjadi calon tapi tidak melewati proses seleksi yang ketat.
“Jual beli suara yang kerap dilakukan oleh caleg merupakan bukti bahwa parpol gagal membentuk karakter dan etika bagi kader-kadernya. Pelaku politik uang hanya bisa dilakukan oleh aktor-aktor yang minim integritas dan moral. Menghalalkan segala cara untuk menang,” ucap Ferry Liando.
Lanjut Dirinya, Jual beli suara terjadi juga karena para pelaku sangat minim kontribusinya di masyarakat. Karena kontribusinya nihil menyebabkan popularitasnya juga nihil. Padahal semakin tinggi kontribusi sosial seseorang maka akan mempengaruhi popularitasnya.
Ia kemudian menyampaikan, Belakangan ini banyak cara yang dilakukan oleh para politisi instan itu, yakni rajin berdiakonia, rajin menjadi panitia dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, serta rajin memasang baliho atau iklan di media massa.
“Jika para calon mengandalkan suap atau sogokan terhadap pemilih, maka potensi yang bisa terjadi adalah terpilihnya calon-calon politisi DPR/DPRD yang tidak diharapkan. Bisa jadi kapasitas dan integritasnya di ragukan, sehingga mustahil janji-janji politiknya saat kampanye dapat di wujudkan,” sindir Ferry Liando.
Sementara itu, Alumnus organisasi berjargon “Ut Omnes Unum Sint” ini berharap, Para pemilih untuk berhati-hati menentukan pilihan.
“Jika ada caleg yang menawarkan uang atau imbalan lain, kemungkinkan motivasi caleg itu tidak betul-betul untuk melayani rakyat, akan tetapi hanya untuk kepentingan mendapatkan keuntungan ekonomi, kepentingan status sosial untuk di hormati, serta kepentingan mendapatkan pengaruh,” beber Ferry Liando.
Kembali mengingatkan, Akademisi beralmamater ‘Benang Biru’ (Sebutan GMKI) itu menegaskan, Jika caleg itu berkarakter dan berintegritas maka tidak akan mungkin baginya menghalalkan segala cara untuk terpilih, termasuk menyogok atau menyuap pemilih. (DYW)
#SurveiSMRC #PolitikUang #FerryLiando