Writing by, Efraim_Lengkong Bin-Daud (‘Mantiq_observer’)
CAHAYASIANG.ID – Kata mudik singkatan dari bahasa Jawa ngoko, ‘aksara Jawa’: [ŋoko] “mulih dhisik” (pulang dulu). Mudik merupakan satu ‘angitan’ dari kultur Melayu Nusantara yang berasal dari kata ‘udik’ bermakna kampung pedalaman.

Mengapa setiap ramadhan, orang acap kali tersengat rindu untuk segera pulang ? Dengan melakukan perjalanan jauh setelah sekian lama tak kembali ke kampung halaman.
Mengapa ‘diksi’ tentang ‘pulang’ atau ‘kembali’ (raja’a) dengan berbagai derivasinya: _yarji’u, irji’î, râjiûn,_ dan seterusnya memiliki makna fundamental dalam tradisi Alquran ? : jawabannya ‘karena orang yang tinggal di rantau’, ingin pulang bagi mereka yang tahu asal-usul kampung asal kakek nenek mereka.
Disisi lain, di kampung nun jauh di pedalaman, kehidupan demikian eksotik dan mekar: rumah-rumah dan pagar halaman di cat ulang, kursi dan sofa baru dipajang, anak-anak meledakkan meriam bambu, umbul-umbul aneka warni menghiasi Masjid dan lapangan tempat shalat idul fitri. Anyaman bungkus ketupat dari daun kelapa muda (janur) dan daun pandan pun riuh di setiap rumah tangga. Tak ketinggalan kukis (kue) kering ‘mentega’ ber toples-toples turut menghiasi rak lemari (étalage) dan meja tamu.
Banyak cara orang di kampung dalam mengekspresikan kebahagiaan menjalankan ibadah ramadan, termasuk saat menanti idul fitri di akhir ramadan, salah satunya dengan pantun :
“Air laut biru warnanya, mudik berlayar pulang ke kampung,
Adakah_tuan membawa_uang Untuk dibagi sanak_saudara”.
Sinar lembayung kemerah-merahan, saudagar pulang ke Tanjung Merah, uang merah berlapis-lapis, untuk di bagi beramai-ramai.
Kesemuanya berporos pada satu tujuan: menyambut sang-pemudik “pulang” setelah sekian lama di rantau.
Ada ‘simetris’ kerinduan yang mengalir di sana, namun tak terucapkan. Semua berlangsung natural, polos dan hidup, tanpa balutan ‘iklan’, ‘promosi’, dan jauh dari ‘pamrih’ (pradah).
Ramadan – mudik, dan idul fitri bukan hanya sebilah garis linear, tapi matriks kerinduan primordial yang mengandaikan momen pengalaman sang-aku dalam ‘menyelami’ diri.
Ramadan adalah momen permenungan, menyelam ke dalam diri guna menemukan diri sejati yang otentik.
Sejauh ini kita sering berkeinginan melontarkan diri dan...