Oleh: Frans Eka Dharma Kurniawan (Ances), Mantan Ketua Partai Rakyat Demokratik (PRD) Sulawesi Utara, Aktivis 98.

CAHAYASIANG.ID, Opini – Marx, “Sejarah umat manusia adalah sejarah perjuangan klas”.
Seorang menteri mengajukan penulisan ulang sejarah. Terjadi perdebatan tentang berbagai peristiwa, peran tokoh pada peristiwa, dan yang menarik adalah, Siapa pahlawan dan siapa penghianat pada setiap peristiwa tersebut. Ditengah usulan penulisan ulang sejarah tersebut, muncul usulan Soeharto menjadi Pahlawan Nasional. Lantas muncul pertanyaan, apakah penulisan ulang sejarah nasional memiliki bias kepentingan untuk menaruh Soeharto sebagai “Pahlawan” dalam sejarah resmi yang ditulis ulang oleh Pemerintah?
Menulis ulang sejarah oleh pemerintah bisa saja berkaitan dengan cara pandang ideologis para penguasa. Penulisan sejarah resmi akan sangat subjektif seperti apa yang dikatakan Napoleon Bonaparte, “sejarah adalah versi masa lalu yang disetujui oleh para pemenang”. Penguasa adalah para pemenang. Para penguasa memerlukan semacam legalitas resmi untuk memastikan kekuasaannya dan menjaga hegemoninya secara naratif, entah itu catatan resmi maupun mitos yang menyertainya.
Menulis kembali sejarah sepertinya lebih dekat dengan rekonstruksi sejarah itu sendiri. Tapi rekonstruksi sejarah tidak seperti rekonstruksi yang dilakukan polisi dalam memecahkan kasus kejahatan; kebenaran mutlak siapa pelaku kejahatannya, bagaimana mereka melakukannya. Niat Pemerintah menulis ulang sejarah itu sendiri akan menimbulkan pertanyaan kritis, apakah pemerintah sedang rekonstruksi sejarah ataukah sedang melakukan dekonstruksi sejarah? Ini mungkin pertanyaan filsafat yang akan menilai ketika sejarah yang ditulis ulang oleh pemerintah sudah dibukukan dan jadi bahan resmi, entah jadi kurikulum pendidikan ataupun doktrin negara.
Pertanyaan filsafat sebelum menulis ulang sejarah memang bisa membuat sejarah menjadi bias tujuan dari penulisan itu sendiri, apalagi tujuan menulis sejarah adalah upaya membangun sejarah resmi versi pemerintah. Bagi filsafat sendiri, pemerintah bukanlah otoritas kebenaran. Melahirkan catatan sejarah resmi pemerintah bukan berarti apa yang tertulis adalah kebenaran mutlak. Inilah yang kemudian menjadi tinjauan kritis, sejarah bukanlah milik para pemenang (berkuasa).
Pendekatan kritis memang dimulai dari mencurigai. Penulisan ulang sejarah dan memberi gelar pahlawan pada Soeharto disaat bersamaan oleh pemerintah bisa dikatakan bukan hal yang tidak disengaja. Para pahlawan perlu narasi sejarah untuk mencatat namanya dalam sebuah peristiwa heroik untuk membuktikan eksistensi kepahlawanannya. Soeharto perlu dicatat dalam narasi sejarah menjadi polemik sejarah itu sendiri, yang kemudian menjadi pembenaran dari apa yang dikatakan Napoleon Bonaparte.
Sejarah sebagai peristiwa tertulis. Menulis sejarah adalah seni sekaligus ilmu. Sejarah ditulis bisa saja berdasarkan fakta, dan penulisnya bisa tergelincir dalam fiksi–penyesuaian kepentingan maupun konsesus yang bisa diterima semua pihak atau menyenangkan berbagai pihak walaupun itu tidak mungkin dilakukan. Itulah kenapa sejarah akan tergelincir dalam fiksi ilmiah.
Rencana penulisan ulang sejarah oleh pemerintah juga berhadapan dengan berbagai kepentingan kekuatan politik yang ada saat ini. Sistem politik Indonesia yang multipartai punya sudut pandang masing-masing dalam menilai rentang waktu peristiwa sejarah, terutama sejarah Indonesia moderen semenjak 1945. Partai politik juga punya narasi sendiri untuk mempertahankan hegemoninya dan eksistensinya dalam narasi sejarah terhadap kehadirannya saat ini dan kedepan. Dalam hal ini, penulisan sejarah oleh pemerintah harus bisa mengakomodir kekuatan politik lainnya sehingga mencapai konsesus yang diterima oleh berbagai kekuatan politik yang berada saat ini. Itu konsesus dilevel elit negara. Lantas bagaimana dengan mereka yang dalam narasi sejarah adalah mereka yang disingkirkan secara kejam oleh perebutan kekuasaan?
Konsesus elit politik saat ini bisa saja terjadi. Politik kekuasaan pada sejarah masa lalu tidak mungkin menarasikan mereka yang kalah dan tertindas. Mereka yang kalah hanyalah catatan kaki, sekalipun ada, mereka yang kalah hanyalah pembanding dalam permainan siapa yang baik siapa yang jahat, siapa yang jadi pahlawan siapa yang jadi penjahat. Tapi, sekali lagi, penulisan sejarah resmi seperti itu tidak serta merta membuktikan soal baik-buruk maupun benar-salah.
Penulisan sejarah bukan hanya merekam fakta. Penulisan ulang sejarah juga bukan hanya memilih dan menafsir mana yang layak dinarasikan, tapi yang diperlukan adalah apakah seluruh peristiwa sejarah yang dikumpulkan bisa memberi makna bagi kehidupan itu sendiri dimasa kini maupun masa depan?
Sejarah tentunya alat untuk memahami masa lalu. Memandang sejarah secara kritis adalah upaya kita, manusia, untuk “tidak jadi keledai yang jatuh dilubang yang sama” dan membangun masa depan yang lebih baik. (Deon)





