CAHAYASIANG.ID, Manado – Tindakan jual beli suara pada Pemilu tahun 2024 nanti, kemungkinan besar masih akan sulit dicegah. Penyebabnya adalah tidak direvisinya UU 2 Tahun 2008 tentang Parpol, serta UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dua UU ini menjadi pemicu utama terjadinya jual beli suara.
Hal tersebut disampaikan oleh akademisi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Sam Ratulangi Manado, Ferry Liando, saat menjadi narasumber (Narsum) dalam kegiatan yang digelar oleh Bawaslu Kota Manado pada Jumat (22/12) kemarin
Kedua UU itu menurutnya tidak mengatur secara ketat apa kewajiban parpol dalam mengikuti proses Pemilu, juga tidak mengatur kewajiban parpol dalam mengawal calon-calon yang berkontestasi beserta sanksi-sanksi jika kewajiban itu tidak dipenuhi.
“Tidak ada norma yang mengatur kewajiban parpol untuk proses kaderisasi anggota untuk waktu tertentu sebelum diseleksi menjadi bakal calon,” tutur peneliti Pemilu ini.
Lanjutnya, jika proses kaderisasi tidak diwajibkan maka wajar jika banyak caleg bermasalah dari aspek kepemimpinan, kapasitas dan etika. Masih banyak parpol yang tidak melakukan proses kaderisasi serta banyak yang menjadi calon tapi tidak melewati proses seleksi yang ketat.
“Jual beli suara yang kerap dilakukan oleh caleg merupakan bukti bahwa parpol gagal membentuk karkter dan etika bagi kader-kadernya. Pelaku politik uang hanya bisa dilakukan oleh aktor-aktor yang minim integritas dan moral. Menghalalkan segala cara untuk menang,” jelas Liando.
Tambahnya, jual beli suara juga terjadi karena para pelaku sangat minim ataupun nihil kontribusinya di masyarakat, yang menyebabkan popularitasnya juga nihil. Padahal, semakin tinggi kontribusi sosial seseorang maka akan mempengaruhi popularitasnya.
“Belakangan ini banyak cara yang dilakukan oleh para politisi instan itu yakni rajin berdiakonia, rajin menjadi panitia dalam kegiatan-kegiatan keagamaan serta rajin memasang baliho atau iklan di media massa,” jelasnya.
Liando mengatakan, jika para calon mengandalkan suap atau sogokan terhadap pemilih, maka potensi yang bisa terjadi adalah terpilihnya calon-calon politisi DPR dan DPRD yang tidak sesuai harapan bahkan tidak diharapkan. Bisa jadi kapasitas dan integritasnya diragukan, sehingga mustahil janji-janji politiknya saat kampanye dapat diwujudkan.
Ia berharap para pemilih untuk berhati-hati dan bijak menentukan pilihan. Jika ada caleg yang menawarkan uang atau imbalan lain, kemungkinkan motivasi caleg itu tidak betul-betul untuk melayani rakyat. Akan tetapi hanya untuk kepentingan mendapatkan keuntungan ekonomi, kepentingan status sosial untuk dihormati, serta kepentingan mendapatkan pengaruh.
“Jika caleg itu berkarakter dan berintegritas, maka tidak akan mungkin baginya menghalalkan segala cara untuk terpilih, termasuk menyogok atau menyuap pemilih,” pukas Liando. (ak/*)