CAHAYASIANG.ID – NASIONAL // Bank Indonesia diduga Danai Elit Asing. Hal ini terungkap dari hasil Investigasi Jurnalistik Forum News Network (FNN). Saat ini ada sekira Rp 5.918,6 triliun uang beredar yang bukan diterbitkan Bank Indonesia (BI). Ini merupakan penggandaan uang elektronik, dan ini bukan rahasia lagi, pada umumnya ini dinamakan Money Multiplier alias penggandaan uang.
Hal ini menuai kritik dari salah satu aktivis, yakni James Lembong. Dia mencontohkan, dengan Money Multipier ini, maka uang kita bisa berlipat ganda sepuluh kali lipat. “Misalkan uang kita hanyalah 1 juta rupiah saja, maka bisa menjadi 10 kali lipat sebesar 10 juta. Sisanya 9 juta rupiah menjadi uang giral/elektronik yang digunakan untuk kasih ke nasabah lain dalam bentuk utang, pinjaman atau kredit. Sudah dipastikan itu merupakan uang-uang elektronik yang diterbitkan oleh Bank-bank BUMN, Bank Swasta, Bank Syariah atau Bank Perkreditan Rakyat (BPR) ketika memberikan pinjaman atau kredit kepada nasabah. Inilah yang menurut saya dinamakan Money Laundry” Ujar Ex Ketua Ikatan Lembaga Mahasiswa Ilmu Sosial & Politik Sulut – Gorontalo ini.
Lanjutnya, Pemerintah kita tidak punya hak untuk menerbitkan uang karena yang punya hak itu adalah Bank central. “Presiden pun tidak boleh menerbitkan uang, demikian halnya dengan menteri keuangan tapi Bank-bank komersial, termasuk bank-bank swasta, bank BUMN, bank syariah, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) dan lainnya, bisa terbitkan dan edarkan uang giral atau uang elektronik sebesar Rp 5.900 triliun lebih padahal penjaminan/kolateralnya tidak ada. Artinya tidak ada backup uang benarannya. Jangankan di backup emas misalnya, dibackup kolateral saja tidak.” tegas Direktur Utama salah satu Perusahaan Media/Pers ini.
Para Kalangan Elit Perbankan maupun Pengusaha, dinilai begitu percaya diri, karena informasi ini biarpun ditulis, dinilai tetap tidak dimengerti khalayak masyarakat luas, jika tidak ada yang memberitahu dengan penjelasan. Ketika kita menyimpan uang di Bank, kesimpulannya, Bank dapat uang dari hasil penggandaan uang elektronik itu dalam bentuk pembayaran bunga dari rakyat. Kalau debitur tidak bayar maka disita rumahnya, mobilnya, motornya, aset-asetnya jadi milik Bank. Padahal uang yang dipinjamkan cuma angka-angka digital. Uang aslinya hanya 10 persen.
“Coba kita tanya ke masyarakat, apakah mudah mendapatkan kredit dari Bank? Pasti sulit. Syaratnya harus punya jaminan, memiliki penghasilan yang pasti dan lain sebagainya. Pada akhirnya yang mudah mendapatkan kredit siapa? Pasti hanya dari kalangan elit saja. Yang kaya tambah kaya sementara yang miskin tambah sengsara. Terus, siapa yang menikmati kredit Rp 5.450 triliun itu? Apakah rakyat jelata? Berapa besar dari kredit penyaluran perbankan kepada rakyat kecil? Yang menikmati hanya debitur-debitur kelas kakap, sementara rakyat kecil hanya mendapatkan kredit-kredit online bunga tinggi akibat para calo perbankan. Jadi alasan Fractional Reserve untuk menolong perekonomian adalah OMONG KOSONG,” tegasnya sekali lagi.
Terus apa solusi terbaik, dari permasalahan yang kita hadapi sekarang? Lembong menjelaskan bahwa itu solusi nyata sudah ada yaitu melalui penerapan Beneficial Owner (BO) sesuai dengan Peraturan Presiden No 13 tahun 2018, Peraturan Menteri Hukum & HAM No 15 tahun 2019 dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No 23 /POJK.01/2019.
“Seluruh aturan tentang Beneficial Owner atau biasa disingkat BO. Ini tertuang didalam berbagai stakeholder keuangan, terutama Finance Action Task Force (FATF). Intinya Beneficial Ownership/Pemilik Manfaat adalah Orang Perseorangan yang dapat menunjuk atau memberhentikan Direksi, Dewan Komisaris, Pengurus, Pembina atau Pengawas pada Korporasi, memiliki kemampuan untuk mengendalikan Korporasi, berhak atas dan/atau menerima manfaat dari Korporasi baik langsung maupun tidak langsung, merupakan Pemilik sebenarnya dari dana atau saham Korporasi. Beneficial Owner sendiri tentu perlu memiliki sejumlah dana beserta jaminan / kolateral yang dapat digunakan sebuah Korporasi dalam mendapatkan sumber pendanaan untuk melakukan perluasan atau ekspansi” tuturnya
Perbankan, Lembaga Keuangan Non Bank, Swasta bahkan BUMN sejatinya tidak memiliki pilihan lain selain menjalanlan regulasi Beneficial Ownership di dalam Korporasi masing-masing, resiko atas ketidakmauan menjalani regulasi ini tentu sangatlah tinggi.
“Sudah saatnya bagi Para Pemimpin di sektor tersebut untuk membuka diri dan menjalankan regulasi ini, bukan hanya untuk menyelamatkan Korporasi, namun juga seluruh pihak yang terkait di dalam Korporasi tersebut mulai dari Karyawan, Vendor, Client dan lain-lain.” Tutup Mantan Pimpinan Senat Mahasiswa Fisip Unsrat ini. (Berna*01)