
CAHAYASIANG.ID, Manado – Dugaan penyimpangan dana dalam pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Sulawesi Utara mengenai Pembiayaan Haji tahun 2024 mendapat sorotan tajam dari publik. Mantan anggota DPRD Sulut dua setengah periode, H. Sultan Udin Musa, S.H., menyatakan keprihatinannya atas tidak transparannya pengelolaan dana subsidi biaya perjalanan lokal jamaah haji.
Perda yang disahkan pada November 2024 tersebut bertujuan meringankan beban biaya transportasi lokal jamaah haji dari Manado menuju embarkasi dan sebaliknya melalui dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Namun, menurut Sultan, pelaksanaannya tidak sesuai dengan semangat awal pembentukan regulasi tersebut.
“Waktu saya berhaji tahun 2007, seluruh biaya lokal saya tanggung sendiri. Sekarang sudah ada Perda dan dana APBD, tapi jamaah tetap membayar penuh. Ini janggal,” kata Sultan saat ditemui di Manado.
Sumber informasi yang diterima Sultan menyebutkan biaya lokal yang dibebankan kepada jamaah mencapai Rp7.542.000 per orang, terpisah dari Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) utama sebesar sekitar Rp55 juta. Dengan jumlah jamaah Sulut tahun ini mencapai 713 orang, total dana lokal yang dibutuhkan ditaksir lebih dari Rp5 miliar.
Sementara itu, berdasarkan pernyataan resmi Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kemenag) Sulut, Ulyas Taha, diketahui bahwa Pemprov Sulut hanya mengalokasikan Rp3 miliar dari APBD. Sisanya disebut sebagai tanggung jawab kabupaten/kota, namun jamaah tetap menanggung beban penuh.
“Kalau sudah ada alokasi Rp3 miliar, seharusnya ada pengurangan beban bagi jamaah. Jangan sampai ada anggaran yang tidak jelas peruntukannya,” tegas Sultan.
Lebih jauh, ia menyebutkan bahwa ada indikasi dana dari jamaah disetor ke rekening yang bukan milik resmi Kemenag. “Kalau benar dana ini tidak dikelola sesuai prosedur, ini bisa masuk kategori tindak pidana korupsi, bukan sekadar maladministrasi,” ujarnya.
Sultan mendesak agar aparat penegak hukum, khususnya Polda Sulawesi Utara, segera turun tangan melakukan penyelidikan menyeluruh. “Jika diminta, saya siap menyerahkan dokumen yang saya miliki. Ini demi menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintah dan lembaga agama,” ungkapnya.
Menanggapi hal ini, Kepala Kanwil Kemenag Sulut Ulyas Taha menegaskan bahwa pembiayaan lokal bukan kewenangan Kemenag. “Dana bantuan dari pemerintah diberikan langsung kepada jamaah. Jangan sampai ada narasi seolah-olah Kemenag melakukan penyimpangan. Kami fokus mengurus visa dan keberangkatan kloter,” tegasnya.
Dasar Hukum Terkait:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (telah diperbarui oleh UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah).
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah – mengatur wewenang dan tanggung jawab pembiayaan kegiatan keagamaan oleh pemerintah daerah.
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara – mengatur transparansi dan akuntabilitas penggunaan anggaran publik.
- Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi – sebagai dasar hukum penyelidikan atas potensi penyimpangan dana publik.
Kasus ini menambah pentingnya akuntabilitas dalam pengelolaan dana publik, khususnya dalam kegiatan yang menyangkut ibadah keagamaan. Penyelidikan hukum yang objektif menjadi kunci untuk membongkar kebenaran dan menjamin keadilan bagi para calon jamaah haji Sulut.(*Red)