Oleh: Deon Yohanes Wonggo
OPINI – Dalam konteks pengetahuan mengenai produk kuliner di Indonesia khususnya minuman, Minahasa merupakan sebuah komunitas yang sinonim dengan saguer dan cap tikus. Pada proses produksi, kedua produk tersebut harus melalui tahap penyadapan buah nira dari pohon aren yang disebut batifar, praktek dan produk ini tentu saja memiliki nilai pengetahuan dan teknologi lokal di dalamnya.
Tradisi pembuatan dan produk kuliner tersebut, walaupun secara langsung terhubung dengan produk alkohol lokal, tetapi juga telah secara asosiatif tidak hanya mengandung unsur identitas sosial suatu komunitas, sebagaimana terindikasi dari penjelasan pada paragraf sebelumnya.
Namun, berisi aspek pengetahuan lokal, teknologi lokal dalam penciptaan produk, serta memiliki fungsi nilai dan makna sosial budaya. Serta, dalam pandangan awal memiliki beberapa potensi pengembangan dalam bidang budaya, ekonomi dan pariwisata.
Bagi masyarakat lokal, Batifar-Saguer-Cap-Cap Tikus, sekalipun merupakan suatu pengetahuan dan produk yang berdiri sendiri, namun merupakan suatu kesatuan. Bukan hanya dari praktek pengetahuan dan wujud produk itu sendiri. Bukan hanya dari praktek pengetahuan dan wujud produk itu sendiri, yang tercermin dari tema spesifik yang menunjukan perbedaan wujud, praktek dan fungsi. Tetapi, memiliki tempat dalam legenda mitos lokal. Selain itu, tiga hal ini memiliki fungsi, nilai, dan simbol dalam kebudayaan terutama terwujud pada ritual-ritual tertentu.
Pada saat bersamaan, praktek dan produk ini memiliki fungsi sosial pada acara-acara lokal seperti pesta-pesta dan hajatan-hajatan tertentu. Karena merupakan komoditi lokal, maka praktek dan produk ini memiliki nilai, dinamika dan potensi ekonomi yang dapat meluas dalam bidang lain, misalnya pengembangan masyarakat bahkan pariwisata.
Namun, hal paling mendasar yang dapat dilihat dari praktek dan produk ini adalah ia memiliki akar lokal baik dalam aspek lingkungan alam, pengetahuan, nilai, serta respon masyarakat.
Sehingga, selain dapat melihat produk ini sebagai suatu fenomena terutama dapat melihatnya sebagai produk kebudayaan, terutama dalam konteks (Warisan Budaya Tak Benda) sebagai pengetahuan lokal, diwariskan secara turun-temurun, serta memiliki peran dan posisi pada masyarakat, maupun fenomena lokal. (RS)